eJournal
Ilmu Komunikasi, 2015, 3 (3):584-597
ISSN 0000-0000, ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2015 |
PESAN RESISTENSI PADA PUISI “SAJAK SUARA”
KARYA WIJI THUKUL
Dirawan Azhar [1]
Abstrak
Dirawan
Azhar, 0802055112, Pesan Resistensi Pada Puisi “Sajak Suara” Karya Wiji Thukul
(Kajian Semiotika Ferdinand de Saussure), dibawah bimbingan Inda Fitryarini,
S.Sos, M.Si, selaku pembimbing I, dan Hikmah S.Sos. M.A selaku pembimbing II,
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Mulawarman.
Penelitian
ini bertujuan untuk menafsirkan dan mengetahui pesan resistensi yang
ditampilkan dalam puisi “Sajak Suara”, Apakah
pesan resistensi yang terkandung dalam puisi tersebut masih sesuai
dengan realitas dan keadaan sosial saat ini?,
mengingat masih banyak aktifis yang membacakan puisi “Sajak Suara”
sebagai penyemangat dalam setiap aksi-aksi massa. Penelitian ini adalah
penelitian kualitatif interpretatif. Pada penelitian ini menggunakan metode
semiotika yaitu metode yang menganalisis tanda. Metode semiotika yang akan
digunakan dalam penelitian adalah semiotika dari pemikiran Saussure. Dalam
teori Saussure dijelaskaan bahwa tanda memiliki unsur yang saling berhubungan
yaitu penanda (signifier), petanda (signified). Proses ini menghubungkan antara
bait puisi dengan dunia eksternal yang sesungguhnya. Validitas interpretasi ini
diperkuat dengan mengambil referensi dari buku, website, artikel, serta
kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.
Hasil dari penelitian
ini yaitu puisi “Sajak Suara” karya Widji Thukul memiliki makna yang saling
berkaitan yaitu menampilkan pesan resistensi. Pesan resistensi yang ditampilkan
dalam bait “Sajak Suara” adalah resistensi terselubung, yakni bentuk perlawanan
yang bersifat ideologis, perlawanan yang dapat menjaga keselamatan dari tekanan
proses peminggiran yang lebih keras lagi, resistensi terselubung seringkali
memakan waktu yang sangat lama dan berlangsung terus menerus.
Kata
Kunci : Pesan Resistensi, Puisi, Sajak Suara, Wiji Thukul
Pendahuluan
Komunikasi Puisi adalah hasil seni sastra yang
kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak,
dan kata-kata kiasan, syarat dalam penyusunannya menjadikan puisi mempunyai
nilai estetika atau keindahan tata bahasa, selain sebagai seni puisi juga bisa
menjadi sarana komunikasi, komunikasi sendiri adalah proses penyampaian pikiran
atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan).
Dalam seni puisi, penulis atau penyair berperan
sebagai komunikator, pembaca berperan sebagai komunikan, dan puisi berperan
sebagai media komunikasi, sedangkan pemaknaan dari puisi tersebut berisi pesan
yang ingin disampaikan oleh sang komunikator. Puisi dianggap sebagai alat
komunikasi yang sangat efektif, karna unsur romantis misterius dalam sebuah puisi disadari atau
tidak mampu menarik minat pembaca untuk meluangkan waktu menerka-nerkaa maksud
yang ingin disampaikan oleh seorang penyair melalui puisi yang ditulisnya.
Melalui karya puisi,
seorang penyair bebas mengekspresikan diri. Puisi yang ditulis bisa bertemakan
apa saja, bisa berkaitan dengan keindahan alam, spiritual, cinta, kemanusiaan,
dan konteks kehidupan sosial dimasyarakat. Puisi yang bertemakan kehidupan
sosial di Indonesia sendiri cukup berkembang, terlebih setelah lewat masa
transisi dari pemerintahan Soekarno kepada pemerintahan Soeharto.
Salah satu penyair yang menjadikan puisi
sebagai media komunikasi untuk menyampaikan kritik sosial terhadap rezim orde
baru adalah Wiji Thukul, Thukul adalah seniman jalanan, dan karya-karya yang
ditulisnya adalah seni yang terlibat langsung
dengan realitas sosial pada saat itu, menyatu dalam dinamika masyarakatnya,
bukan hasil imajinasi belaka. Puisi Thukul terbilang unik karna dengan
nadanya yang paling keras sekalipun tetap indah, puisinya seolah tidak terbatas
ruang dan waktu, ia seolah memasuki ranah ada namun tiada dalam setiap aksi
pembacaan puisi yang ditulisnya.
Karna terus mengkritisi pemerintah
akhirnya berujung pada nasib buruk yang dialaminya, diduga mendapat tindakan
reprensif dari aparat, Wiji Thukul diberitakan hilang diculik pada 27 Juli 1998
bersama belasan aktivis lainnya, dan belum ada kabar pasti hingga saat ini mengenai nasib sang legenda sastra bersama
rekan aktivis lainnya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
diatas, pesan seperti apa yang ingin disampaikan Wiji Thukul dalam puisinya
yang berjudul “Sajak Suara”? Dari latar belakang inilah peneliti merasa
tertarik untuk mengintepretasikan pesan resistensi yang ditampilkan dalam puisi
“Sajak Suara” karya Wiji Thukul dengan menggunakan kajian semiotika.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diuraikan
diatas maka penulis merumuskan masalah yaitu : Bagaimana pesan resistensi yang
ditampilkan dalam puisi “Sajak Suara” karya Wiji Thukul, dalam kajian semiotika?
Tujuan
Penelitian
Untuk menginterpretasikan dan menganalisa makna pada
bait-bait kata dalam puisi “Sajak Suara” karya Wiji Thukul
Manfaat
Penelitian
Setiap
penelitian diharapkan akan mendapat suatu hal yang berguna bagi semua pihak dan
sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka penelitian ini
diharapkan berguna dan bermanfaat antara lain:
1. Segi Teoritis
Penelitian ini diharapkan
dapat memperkaya kajian ilmu teori komunikasi, khususnya teori studi analisis
semiotika.
2. Segi Praktis
Praktis : Hasil
penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumber referensi jika ada yang
melakukan penelitian dengan tema yang sama.
Kerangka Dasar Teori
Teori dan Konsep
Semiotika
Semiotik adalah
cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi
tada (Van Zoest, 1993:1). A. Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda
sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang
mempertanggung jawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala
sastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun.
Teori
Semiotika Ferdinand de Saussure
Semiotika menurut Saussure
memandang bahasa sebagai suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari
dua bagian, yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Menurut Saussure
bahasa merupakan suatu sistem tanda (sign). tanda dalam pendekatan Saussure
merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi dengan
citra bunyi sebagai penanda. Jadi penanda (signifier) dan petanda (signified)
merupakan unsur mentalistik. Dengan kata lain didalam tanda terungkap citra
bunyyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Dengan kata
lain kehadiran yang satu berarti pula kehadiran yang lain seperti dua sisi
kertas (Masinambow, 2000a:12, dalam Sobur 2003:32).
Penanda
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain,
penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan bermakna”. Jadi, penanda
adalah aspek material dari bahasa, apa yang dikatakan atau didengar den apa
yang ditulis atau dibaca. Penanda yang menjadi fokus penelitian ini adalah bait
pada puisi “Sajakan Suara”.
Petanda
Petanda
adalah gambaran mental. Pikiran atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek
mental dari bahasa. Tanda bahasa selalu memiliki dua segi : penanda dan
petanda, signifier dan signified, significant atau signifie. Suatu penanda
tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda.
Sebaiknya suatu petanda tidak mungkin lepas dari penanda, petanda atau yang
ditandakan itu termasuk tanda itu sendiri dan dengan demikian merupakan suatu
faktor linguistis.
Signifikasi
Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan
konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotik signifikasi adalah sistem
tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan
aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat
memaknai tanda tersebut. Sementara prosees signifikasi menunjukan antara tanda
dengan realitas eksternal yang disebut referent.
Puisi
Puisi adalah satu pernyataan perasaan dan pandangan hidup seorang penyair
yang memandang sesuatu peristiwa alam dengan ketajaman perasaannya. Perasaan
yang tajam inilah yang menggetar rasa hatinya, yang menimbulkan semacam gerak
dalam daya rasanya. Lalu ketajaman tanggapan ini berpadu dengan sikap hidupnya
mengalir melalui bahasa, maka jadilah ia sebuah puisi, satu pengucapan seorang
penyair. Puisi adalah salah satu seni yang tua. Puisi hidup sejak manusia
menemukan kesenangan dalam bahasa (Ahmad Badrun, 1989:1).
Fungsi Puisi
Fungsi puisi dalam kehidupan sehari-hari dapat dipakai
sebagai komunikasi, yang sanggup mengungkapkan kodrat perasaan manusiawi yang
tidak dapat dilakukan melalui bahasa secara langsung.
Komunikasi
Puisi
Puisi sebagai media komunikasi, menurut Chairil Anwar
(dalam Aminudin, 1990:142) puisi merupakan lukisan kepadatan jiwa yang
disampaikan oleh penyairnya, melalui pemilihan kata-kata, dan pemadatan susunan
kata pada sajak-sajaknya. Puisi juga sebagai konfirmasi terhadap kenyataan
sosial yang menggambarkan gejala sosial.
Pengertian Pesan
Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan
oleh komunikator. Pesan seharusnya mempunyai inti pesan atau tema sebagai
pengaruh di dalam usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan.
Adapun pesan, menurut Onong Effendy, menyatakan bahwa pesan adalah: “suatu komponen
dalam proses komunikasi berupa paduan dari pikiran dan perasaan seseorang
dengan menggunakan lambang, bahasa/lambang-lambang lainnya disampaikan kepada
orang lain”. (Effendy, 1989:224)
Pengertian Resistensi
Resistensi adalah setiap semua tindakan para anggota
kelas masyarakat yang rendah dengan maksud melunakkan atau menolak
tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak) yang dikenakan pada kelas itu oleh
kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin,
pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri
(misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas
atas. Atau merujuk kepada situasi sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan
dalam struktur sosial masyarakat kemudian melakukan perlawanan terhadap
pihak-pihak yang merugikannya. (James C. Scott, 1993).
Definisi Konsepsional
Berdasarkan konsep yang sudah penulis
paparkan, maka definisi konsepsional dari Pesan resistensi pada puisi “Sajak
Suara” karya Widji Thukul, adalah :
-
Pesan
“Suatu komponen dalam proses komunikasi berupa panduan dari
pikiran dan perasaan seseorang dengan menggunakan lambang,
bahasa/lambang-lambang lainnya disampaikan kepada orang lain”. (Effendy,
1989:224).
-
Resistensi
Adalah usaha untuk mencapai demokrasi yang secara nyata
memberikan kebebasan dan equality (Hardt & Negri: 2004).
-
Semiotika
Semiotik (Semiotics) berasal dari bahasa Yunani “Semeion”
yang berarti tanda atau sign. Tanda tersebut menyampaikan suatu informasi
sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (Stand for
something else) yang dapat dipikirkan atau dibayangkan (Broadbent, 1980).
-
Puisi
Adalah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut
syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kata-kata kiasan (Tarigan,
1984:4).
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, menggunakan metode semiotika
yaitu metode yang menganalisis tentang tanda. Metode semiotika yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika dari pemikiran Saussure.
Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan
pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda).
Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda
berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan sginifikasi. Semiotika signifikasi
adalah sistem tanda yang mempelajari relassi elemen tanda dalam sebuah sistem
berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk
dapt memaknai tanda tersebut.
Fokus Penelitian
Untuk menginterpretasikan pesan
resistensi pada puisi “Sajak Suara karya Widji Thukul, dengan menggunakan teori
semiotika Saussure yakni penanda dan petanda. Fokus dalam penelitian ini adalah
pesan resistensi yang ditampilkan pada puisi sajak suara karya Wiji Thukul,
baik resistensi yang bersifat terbuka, terselubung, atau negosiasi.
Sumber dan Jenis Data
- Data Primer :
Data penelitian yang diperoleh secara langsung dari
sumber asli, yaitu puisi “Sajak Suara” dalam buku antologi “Aku Ingin Menjadi
Peluru” (Indonesia Tera,2004), untuk kemudian peneliti akan melakukan analisis terhadap puisi “Sajak
suara” karya Widji Thukul.
- Data Sekunder :
Diperoleh dengan melakukan dokumentasi terhadap
sumber-sumber yang dapat dipercaya seperti situs internet, majalah, video,
dokumenter, untuk mendukung data primer.
Teknik Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data adalah sebagai berikut :
- Mengapresiasikan objek penelitian, sebagai langkah awal dalam memahami bait puisi secara awam yaitu dengan mengikuti alur cerita pada setiap kata yang tersusun secara fokus sehingga mengerti pesan apa yang ingin disampaikan penyair puisi kepada audien.
- Pembedaah objek penelitian dalam hal ini adalah syair puisi secara keseluruhan menjadi perkalimat untuk mencermati tanda-tanda mana yang digunakan oleh pencipta puisi dalam menyampaikan pesan pada objek penelitian. Ini dilakukan dengan mengartikan simbol-simbol yang mewakili pesan yang ingin disampaikan oleh pencipta puisi.
- Menafsirkan arti tanda-tanda tersebut dari sudut pandang peneliti dengan analisis semiotika yang mengungkap signifier dan signified.
- Mengkombinasikan temuan-temuan tanda-tanda tersebut dengan menganalisis situasi dan kondisi sosial ketika puisi tersebut diciptakan.
- Menarik kesimpulan berdasarkan analisis yang dilakukan pada tahap-tahap analisis sebelumnya.
Studi pustaka adalah suatau tekhnik pengumpulan data
dengan mencari informasi dari pustaka yang bisa mendukung penelitian. Data yang
diperoleh dari berbagai referensi buku, jurnal, dan karya ilmiah serta
data-data ;ain yang berhubungan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini,
studi kepustakaan sangat dibutuhkan karena melalui tekhnik ini peneliti dapat
memperkuat penjelasan dalam memberikan penafsiran.
Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis sebuah teks
sesuai dengan teori Saussure terhadap beberapa tahap yang dapat digunakan untuk
melakukan interpretasi terhadap puisi “Sajak Suara”. Tahapan-tahapan tersebut
adalah :
1.
Penanda (Signifier)
Aspek material dari bahasa, apa yang dikatakan, didengar, dan apa yang
dibaca. Penanda juga dapat dikatakan sebagai bunyi atau tulisan yang memiliki
makna. Dalam penelitian ini yang menjadi penanda (Signifier) adalah puisi
“Sajak Suara”.
2.
Petanda (Signified)
Gambaran konsep sesuatu dari penanda (Signifier). sebuah tahap pemaknaan
terhadap teks yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini petandanya
adalah merupakan hasil interprestasi terhadap puisi yang belum dikaitkan dengan
realitas sosial. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda
tersebut
3.Signifikasi
(Signification)
Sebuah proses petandaan, setelah tahap pemberian makna terhadap puisi
“Sajak Suara”. Peneliti akan mengaitkan bait puisi tersebut dengan realitas
sosial. Dalam penelitian ini, signifikasi dilakukan dengan menghubungkan
baait-bait dalam puisi “Sajak Suara” dengan realitas sosial atau kondisi
lingkungan sosial pada saat puisi tersebut diciptakan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pesan
Resistensi dalam Puisi “Sajak Suara”
Puisi yang diteliti adalah puisi
yang berjudul “Sajak Suara”, puisi “Sajak Suara” merupakan salah satu karya
Widji Thukul yang terdapat dalam antologi puisi Aku ingin menjadi peluru
terbitan tera, dalam puisi Sajak Suara terdapat pesan yang ingin disampaikan
yaitu pesan resistensi, Peneliti akan menganalisis puisi tersebut dengan
menggunakan teori semiotika dari Ferdinand de Saussure.
Berikut bait puisi
“Sajak Suara” Karya Widji Thukul.
- Sajak Suara -
Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
Mulut bisa dibungkam
Namun siapa mampu menghentikan nyanyian
bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku.
.?
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu : Pemberontakan. .!!!
Sesungguhnya suara itu bukanlah perampok
yang ingin merayah hartamu
Ia hanya ingin bicara
Mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan. .?
Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
Engkau harus menjawabnya
Apabila engkau tetap bertahan
Aku akan memburumu seperti, Kutukan. .!!!.
Table
4.2.1 Bait 1
Aspek Penanda
|
Aspek Petanda
|
Sesungguhnya suara itu tak bisa
diredam
|
Kalimat
ini menyatakan keadaan alamiah bahwa suara tak bisa diredam atau ditahan,
menunjukan betapa dahsyatnya keinginan penulis untuk tetap bersuara melalui
puisinya.
|
Mulut bisa di bungkam
|
Menggambarkan
keadaan bahwa mulut bisa saja dibungkam, atau dipaksa untuk diam..
|
Namun siapa mampu menghentikan
nyanyian bimbang
|
Kalimat
ini menggambarkan tidak ada seorang pun yang mampu menghentikan suara atau
pertanyaan yang berasal dari sikap skeptis atau keragu-raguan.
|
Dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah
jiwaku
|
Kalimat
ini menunjukan bahwa suara dan juga pertanyaan yang timbul pada dasarnya
berasal dari lidah jiwa, lidah jiwa menunjukan kedalamaan makna. Yakni mengandung
makna pertentangan batin yang dialami.
|
Hubungan antar kalimat dalam
bait diatas adalah, penulis puisi ingin menyampaikan keadaan yang sebenarnya,
dalam konteks kejadian waktu itu. Adapun upaya-upaya yang dilakukan untuk
membuat rakyat bungkam, tidak akan mampu menghentikan suara atau pertanyaan
yang berasal dari sikap skeptis dan juga keragu-raguan pada pemerintah,
menyampaikan hal paling mendasar yakni bersuara mengenai pertentangan batin
yang selama ini dialami.
Table
4.2.2 Bait II
Aspek Penanda
|
Aspek Petanda
|
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
|
Kalimat
ini menunjukan, bahwa suara tak bisa dipenjarakan, bermakna ancaman dan juga
intimidasi, atau penjara dalam arti yang sebenarnya sekalipun tidak akan mampu menghentikan seseorang
untuk tetap bersuara.
|
Di sana bersemanyam kemerdekaan
|
Kalimat
ini menggambarkan tujuan, jika dikaitkan dengan kalimat sebelumnya menunjukan
bahwa kemerdekaan bisa dicapai dengan cara bersuara atau menyampaikan
aspirasi, sesuai proses demokrasi yang sebagaimana mestinya.
|
Apabila engkau memaksa diam
|
Apabila,
kata ini menunjukan keadaan atau situasi dan kondisi tertentu, ketika dipaksa
untuk tetap diam.
|
Aku siapkan untuk mu pemberontakan.
|
Kalimat
ini bermakna ancaman, menyiapkan sebuah pemberontakan atau perlawanan. Jika
dihubungkan dengan kalimat sebelumnya sikap paksaan pada akhirnya hanya
menimbulkan sebuah perlawanan.
|
Hubungan antar kalimat, bait
kedua puisi “Sajak Suara” menceritakan bahwa suara atau aspirasi yang ingin
disampaikan tidak bisa dipenjarakan, aspirasi adalah salah satu unsur dari
demokrasi untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Sikap diktator yang
dilakukan untuk memaksa rakyat diam akan menimbulkan sebuah perlawanan.
Tabel
4.2.3 Bait III
Aspek Penanda
|
Aspek Petanda
|
Sesungguhnya suara itu bukanlah
perampok
|
Kalimat
ini ingin menegaskan, bahwa suara dan juga pertanyaan-pertanyaan yang timbul
bukanlah upaya mengambil paksa apa yang dimiliki rezim.
|
Yang ingin merayah harta mu.
|
Kalimat
ini bermakna, mengambil harta. Jika dikaitkan dengan kalimat sebelumnya maka
bermakna upaya mengambil paksa harta yang dimiliki rezim penguasa.
|
Ia hanya ingin bertanya
|
Kalimat
ini menunjukan bahwa, suara-suara yang timbul sebenarnya hanya ingin
menyampaikan sebuah pertanyaan.
|
Mengapa kau kokang senjata
|
Kalimat
ini ingin mengajukan sebuah pertanyaan, mengapa suara-suara yang muncul
dihadapi dengan kokangan senjata.
|
Dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan
|
Kalimat
terakhir dalam bait ketiga menunjukan ketakutan pemerintah, pada akhirnya
suara-suara itu menuntut keadilan, jika dihubungkan dengan kalimat
sebelumnya. Mengapa aspirasi yang disampaikan dihadapi dengantindak
kekerasan, jika pada akhirnya takut ketika korban akan menuntut keadilan.
|
Hubungan antar kalimat pada
bait ke tiga puisi “Sajak Suara”, pada bait ketiga penulis puisi ingin
menyampaikan pesan bahwa suara-suara atau aspirasi yang disampaikan sebenarnya
bukan upaya untuk mengambil paksa harta atau kekuasaan rezim penguasa,
melainkan jalan damai untuk mewujudkan proses demokrasi. Namun upaya damai yang
dilakukan dihadapi dengan tindak kekerasan, dibalik itu ada ketakutan jika
kemudian korban dari tindak kekerasan itu menuntut keadilan.
Tabel 4.4 Bait 4
Penanda
|
Petanda
|
Sesungguhnya suara itu akan menjadi
kata
|
Kata,
merupakan kepadatan makna. Kalimat ini mengandung arti kekuatan yang besar
dari suara-suara yang bermunculan.
|
Ialah yang mengajari aku bertanya
|
Kalimat
ini berarti, dari suara-suara yang bermunculan, akhirnya mengajari atau
memberanikan diri untuk bertanya.
|
Dan pada akhirnya tidak bisa tidak
|
Kalimat
ini menggambarkan optimisme dan keyakinan yang besar, untuk berkata tidak.
|
Engkau harus menjawabnya
|
Kalimat
ini bernada ancaman, keharusan untuk menjawab pertanyaan. Jika dikaitkan
dengan kalimat sebelumnya bermakna tidak bisa tidak, harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
|
Apabila engkau tetap bertahan
|
Bertahan
bermakna stagnan atau diam tak bergeming, tidak ada niatan untuk berubah.
|
Aku akan memburu mu seperti
kutukan..!!!
|
Kalimat
terakhir menggambarkan ancaman, akan memburu layaknya sebuah kutukan.
Bertanya dan bertanya hingga tiada bosan. Jika dihubungkan dengan kalimat
sebelumnya bermakna, akan memburu layaknya kutukan jika pertanyaan-pertanyaan
tak juga membuat rezim untuk berubah sikap.
|
Hubungan antar kalimat. Dalam bait terakhir puisi
“Sajak Suara” menceritakan suatu keadaan, dimana suara-suara dan juga aspirasi
yang disampaikan pada akhirnya menjadi kekuatan yang dahsyat. Menuntut rezim
untuk merubah kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan
rakyat, jika nantinya rezim bertahan terhadap sikap diktatornya, maka
suara-suara itu akan terus bergema, memburu layaknya sebuah kutukan.
Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian
dengan pembahasan melalui studi pustakan dan interpretasi mengenai “Pesan Resistensi
Pada Puisi “Sajak Suara” Karya Widjin Thukul. Penulis menyimpulkan seperti
dibawah ini.
Dari hasil penelitian, peneliti
menemukan makna atau pesan yang ditampilkan dalam puisi “Sajak Suara” Karya
Widji Thukul, adalah pesan resistensi. Peneliti menemukan adanya cerita dibalik
puisi tersebut, yaitu bercerita tentang resistensi atau perlawanan yang
dilakukan pada masa rezim orde baru dibawah pemerintahan Soeharto yang terkenal
ditaktor.
Interpretasi dari peneliti, puisi
“Sajak Suara” menampilkan pesan resistensi, resistensi sendiri Adalah usaha
untuk mencapai demokrasi yang secara nyata memberikan kebebasan dan equality
(Hardt & Negri: 2004), menurut James C. Scott ada 3 bentuk resistensi
diantaranya adalah :
- Resistensi terbuka :
Adalah bentuk resistensi yang terorganisasi, sistematis, dan berprinsip.
Manifestasi yang digunakan adalah cara-cara kekerasan seperti pemberontakan.
- Resistensi terselubung :
Adalah bentuk perlawanan yang dapat menjaga keselamatan dari tekanan proses
peminggiran yang lebih keras lagi, resistensi terselubung seringkali memakan
waktu yang sangat lama dan berlangsung terus menerus.
-Resistensi negosiasi : Adalah bentuk resistensi
yang dilakukan dengan bernegosiasi untuk menemukan solusi terbaik,
manifestasinya biasanya disertai dengan aksi demonstrasi.
Puisi “Sajak Suara” sendiri
menampilkan 3 pesan resistensi sekaligus, namun yang paling dominan adalah
pesan resistensi yang bersifat terselubung. Terselubung karna puisi “Sajak
Suara” merupakan media dari pesan yang ingin disampaikan oleh penulis puisi,
yang memuat gagasan perlawanan didalamnya. Sebagai bentuk representasi
perlawanan dari penulis puisi.
Pesan yang disampaikan melalui
puisi membutuhkan penafsiran terlebih dahulu agar bisa dipahami, resistensi
terbuka dan juga negosiasi yang pernah terjadi dimasa lalu pada era orde baru ,
menjadi bagian dari resistensi terselubung dalam puisi “Sajak Suara”.
Perlawanan fisik berubah menjadi perlawanan ideologis. Resistensi terselubung
lebih berbahaya karna akan terus hidup dari generasi ke generasi, seperti yang
tersirat dalam kata terakhir puisi tersebut yaitu “Akan memburu mu seperti
kutukan”.
Puisi "Sajak Suara" karya Wiji Thukul menampilkan pesan Resistensi, hal ini pula yang membuat puisi "Sajak Suara" selalu sesuai dengan realitas sosial yang ada. Dalam situasi dan kondisi dimana pihak-pihak yang dirugikan dalam struktur sosial masyarakat kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak yang merugikannya.
Saran
Berdasarkan penelitian dan
pembahasan yang dilakukan, peneliti ingin menyampaikan beberapa saran, yaitu :
1.Bagi Pencipta Puisi
Puisi adalah harapan terakhir
yang bisa merawat kebudayaan ketika politik dan ekonomi tak mampu
memeliharanya, puisi memiliki fungsi sebagai media komunikasi dan kontrol
sosial. Oleh karnanya, Pencipta puisi
sebaiknya bersentuhan langsung dengan masyarakat, bersentuhan dengan kenyataan
sosial, karena karya sastra selalu bergesekan dengan masyarakat, agar ia
berpihak pada kepentingan masyarakat. Sudah saatnya penyair tidak lagi berpikir
menulis puisi untuk menumbuhkan kreativitas, mendapatkan penghasilan dari
menulis puisi, akan terkenal karena menulis, menggembirakan hati dan lain-lain.
Sudah saatnya (bahkan sejak
lama), penyair menjadi “Khotib” untuk kepentingan ideologi. Puisi harus
berbicara persoalan dalam masyarakat, tentang fakta yang terjadi baik itu
kemiskinan, pendidikan, sosial, politik, atau harga cabai yang mahal. Wiji
Thukul misalnya, menjadikan puisi sebagai dialog menolak adanya kebohongan dan
penindasan. Ia ingin penyair sebagai penjaga moral, sehingga sastra memiliki
posisi tawar untuk kesadaran masyarakat.
2.Bagi Masyarakat
Masyarakat sebagai penikmat
puisi, hendaknya kritis untuk memilih puisi-puisi yang memiliki kualitas dalam
lirik lagunya. Diharapkan juga supaya mampu menterjemahkan makna-makna yang
terkandung dalam sebuah puisi. Dengan begitu masyarakat mempunyai pola pikir
yang kritis dan maju sehingga dapat berpengaruh terhadap kondisi mental
masyarakat.
3.Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan untuk dapat mencari
puisi lain yang berkaitan dengan realitas sosial untuk diteliti,karna seni merupakan media komunikasi yang unik,
sehingga nantinya akan ditemukan gambaran maknadari sudut pandang yang berbeda,
dan dapat memberikan pengetahuan yang baru bagi masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku
Anoraga, Alisyahbana, S. Takdir.
(1996). Puisi Lama. Dian Rakyat, Jakarta
Alo Liliweri. (2002). Makna Budaya
dalam Komunikasi antar Budaya. Yogjakarta.
PT. LKiS Pelangi Aksara
Aminuddin. (1995). Statistika Pengantar
Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, IKIP Semarang Press, Semarang.
Andangdjaya, Hartoyo. (1973). Buku
Puisi, Pustaka Jaya, Jakarta
Djajasudarma. 1999. Semantik 1
Pengantar ke Arah Ilmu Makna, PT. Refika Aditama, Bandung.
Julie Southwoodd & Patrick Flagnan,
2013 Penyelewngan Hukum & Propaganda, komunitas bamboo, Jakarta
Scott, James, 1985. Weapons of the
Weak, Everyday Forms of Peasant Resistance, Yale University Press.
Sobur , Alex, 2002. Analisis teks media
suatu analisis untuk wacana, analisis semiotika dan ANALISIS framing, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung
Sobur, Alex. 2003, Semiotika
Komunikasi, Rosdakarya, Bandung.
Suawardi. Endaswara 2003 metode
penelitian sastra, PT buku seru, Jakarta
Zoezt, Aart Van & Panuti Sudjiman.
1992. Serba-Serbi Semiotika, Gramedia
[1] Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email: dainurasa@gmail.com